Ilmuwan Indonesia, Akankah Selamanya Menjadi Ali?
Satu-satunya kenangan. Foto Ali mengenakan baju Eropa dipotret di Singapura pada awal 1862 |
NU Bogor - Tersebutlah sebuah kisah tentang seorang pemuda Melayu bernama Ali. Dia sudah lama mati namun belum lama ini sosoknya bangkit kembali.
Kebangkitannya bukan bermula dari tanah yang retak, tetapi dari sebuah tulisan yang dibuat oleh seorang ahli sejarah sains yang bernama John van Wyhe.
Berdasarkan penelusuran John, Ali adalah sosok penting dalam ekspedisi Alfred Wallace di Kepulauan Melayu pada akhir abad ke-19.
Berawal dari seorang juru masak, Ali kemudian membantu Wallace dalam mencari dan mengawetkan spesimen-spesimen burung dan serangga.
Dibandingkan dengan asisten Wallace yang berasal dari Inggris, Ali dinilai lebih cekatan dan lebih produktif dalam mengumpulkan spesimen.
Ribuan spesimen yang disiapkan Ali ini merupakan sumber dari tercetusnya Teori Seleksi Alam, sebuah teori yang membantu Charles Darwin mengembangkan Teori Evolusi.
Namun kisah tentang Ali hilang seketika sejak kepulangan Wallace ke Inggris Raya. Buku harian Wallace merupakan sumber utama kisah Ali sehingga ketika keduanya berpisah, secara otomatis kisahnya berhenti.
Walaupun demikian, para ahli sejarah sains seperti John terus mencari tahu tentang sosok Ali, sebuah sosok penting yang masih tersembunyi dalam bayang-bayang Alfred Wallace.
Ratusan tahun berlalu dan saya baru menyadari bahwa ternyata ‘sosok Ali” masih hidup dalam kebanyakan tubuh ilmuwan Indonesia dan juga ilmuwan di negara berkembang lainnya.
Kisah Ali memberikan perspektif baru bagi saya untuk melihat kondisi sains dan teknologi di negara berkembang saat ini.
Kisah ini merupakan simbol dominasi sains oleh dunia Barat dan pengabaian dunia atas kontribusi ilmuwan di negara berkembang untuk sains itu sendiri.
Banyak ahli menyebutkan bahwa sains modern lahir dengan pendanaan dari kaum kapitalis di zaman kolonial.
Yuval Noah Harari, dalam bukunya Sapiens, menyebutkan bahwa pelayaran-pelayaran bangsa Eropa ke selatan dunia di abad 19 bukan hanya ditumpangi oleh pelaut,pendeta, dan pedagang, namun juga oleh para naturalis seperti Alfred Wallace dan Darwin.
Sedangkan Carl Sagan, dalam bukunya Cosmos, menyebutkan bahwa revolusi sains modern tidak bisa dipisahkan dari dukungan pemerintah Belanda pada abad 19 terhadap kebebasan berpikir (free-thinking).
Saat ini dunia sudah jauh meninggalkan kolonialisme. Sains modern yang tadinya dimiliki Barat sekarang seharusnya sudah menjadi perjalanan bersama (universal quest) umat manusia.
Melalui semangat kebebasan dan kesetaraan, banyak orang di Indonesia dan negara berkembang lainnya turut serta mempelajari sains sehingga akhirnya mereka menjadi pelaku dari perkembangan sains itu sendiri.
Namun sayangnya kebanyakan nasib mereka sama seperti Ali. Sumbangsih mereka untuk ilmu pengetahuan masih berada di balik bayang-bayang kolega mereka di Barat.
Berdasarkan penelitian di jurnal Health Affairs, ilmuwan Barat cenderung meremehkan hasil penelitian kolega mereka di negara berkembang.
Dalam eksperimen tersebut, sebanyak 347 ilmuwan kedokteran meninjau (review) empat buah abstrak penelitian yang berasal dari Amerika Serikat, Jerman, Ethiopia, dan Malawi.
Satu bulan kemudian, mereka meninjau empat buah abstrak yang sama tetapi mereka tidak menyadari bahwa afiliasi negara yang tertulis di abstrak tersebut sudah ditukar oleh penguji.
Hasilnya, mereka memberikan nilai yang lebih tinggi untuk abstrak yang berubah afiliasinya dari negara miskin ke negara kaya.
Jika pada kesempatan pertama mereka membaca abstrak A dari negara Malawi dan memberinya nilai 6. Maka di kesempatan kedua,mereka memberi nilai 8 pada abstrak A yang telah berubah afiliasi menjadi institusi di Jerman.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa tingkat penerimaan (acceptance rate) makalah ilmiah yang berasal dari negara-negara berbahasa Inggris lebih tinggi daripada makalah negara-negara yang tidak berbahasa Inggris.
Ini tentunya sebuah hal buruk bagi infrastruktur sains dunia. Para ilmuwan di negara berkembang akan sulit menyebarkan hasil penelitian mereka karena mereka sudah “tersandung” di awal.
Mungkin karena sebab inilah kebanyakan ilmuwan kita mengandalkan kolaborasi riset internasional untuk perkembangan karir mereka.
Namun kolaborasi riset ini juga tidak selamanya menguntungkan.
Kendala penulis Indonesia
Berdasarkan wawancara saya dengan Muhammad Danang Birowosuto, seorang fisikawan Indonesia yang saat ini berada di Nanyang Technological University (NTU), kebanyakan ilmuwan Indonesia tidak bisa menjadi penulis utama dalam publikasi ilmiah internasional karena dominasi pendanaan oleh kolega di Barat.
Mereka yang memiliki dana terbesar biasanya mereka yang menyetir penelitian dan akhirnya mendapatkan “nama” di dunia internasional.
Sistem ini adalah sebuah “lingkaran setan”, ilmuwan Barat yang menjadi penulis utama kemudian menambahkan garis pengalaman dalam CV mereka dan kemudian “trust” para penyokong dana terhadap mereka semakin meningkat. Kesempatan mereka untuk mendapatkan hibah penelitian menjadi semakin tinggi.
Ketika mereka melakukan penelitian lagi, mereka merangkul lagi para ilmuwan di negara berkembang yang harus “nerimo” namanya dituliskan di urutan ke sekian atau malah tidak dituliskan sama sekali walaupun mereka sudah melakukan kontribusi besar.
Kejadian publikasi Megalara garuda oleh peneliti Amerika Serikat pada tahun 2012 lalu masih menyisakan rasa kecewa dalam komunitas ilmiah Indonesia, khususnya mereka yang bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Bayang-bayang yang menyelimuti kontribusi ilmuwan Indonesia pun semakin gelap ketika media sains internasional turut serta memiliki “bias” terhadap ilmuwan di negara berkembang.
Saya sungguh prihatin ketika membaca berbagai berita penemuan penting di Indonesia seperti penelitian Homo floresiensis dan spesies baru orang utan. Tak ada satu pun media internasional yang mewawancara peneliti Indonesia yang terlibat dalam penelitian-penelitian bersangkutan.
Para jurnalis dan editor berdalih bahwa perbedaan zona waktu dan bahasa adalah kendala utama mereka. Namun saya kira mereka lupa bahwa negara berkembang juga mempunyai jurnalis yang bisa membantu mereka meliput aspirasi-aspirasi ilmuwan di Selatan bumi.
Biarpun demikian, walaupun dunia Barat begitu kuat mendominasi ilmu pengetahuan, kita masih punya kesempatan untuk memberontak.
Sebuah terobosan dilakukan oleh Dasapta Erwin Pradana, seorang dosen yang berasal Institut Teknologi Bandung.
Melalui dukungan Open Science Forum, Dasapta mengelola situs INA-Rxiv, sebuah situs yang memuat pre-prints, makalah ilmiah mentah yang belum atau sedang menjalani peer-review di jurnal internasional.
INA Rxiv merupakan sebuah terobosan karena selama ini seluruh ilmuwan dunia terpaku pada publikasi ilmiah di jurnal-jurnal bergengsi dunia.
Jurnal-jurnal ini mengharuskan sang ilmuwan membayar sejumlah dollar untuk setiap makalah yang masuk. Tak sedikit juga, makalah ini kemudian hanya bisa dibaca oleh mereka yang mempunyai uang saja.
INA Rxiv memberikan ruang bagi ilmuwan Indonesia untuk berbagi hasil penelitian mereka secara terbuka, baik ditulis dalam Bahasa Inggris ataupun Bahasa Indonesia.
Namun sampai sekarang, belum banyak ilmuwan yang menggunakan fasilitas ini karena mereka mungkin masih menilai publikasi internasional sebagai kulminasi karir ilmiah mereka.
Cara lain untuk memberontak tentu saja dengan pendanaan pemerintah. Pada bulan Juni 2016, saya menulis sebuah kolom di jurnal Nature berjudul “The developing world needs basic research too.”
Dalam kolom ini saya begitu bangga menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia berkomitmen untuk memperbaiki infrastruktur pendanaan riset di Indonesia.
Melalui Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI), Kementerian Keuangan berjanji untuk mengalokasikan 3 juta dollar Amerika Serikat untuk mendanai penelitian di bidang kesehatan dan lingkungan.
Sayangnya, berdasarkan wawancara saya dengan beberapa ilmuwan Indonesia, dana yang dijanjikan DIPI belum juga cair. Mereka menduga bahwa pergantian Menteri Keuangan telah menahan dana tersebut. Sampai sekarang mereka belum mendapatkan kabar lebih lanjut dari DIPI.
Dalam pandangan saya, sepertinya ilmuwan Indonesia akan selamanya menjadi Ali.
Mereka memiliki kemampuan yang sama seperti kolega mereka di Barat namun harus tetap berjalan di balik bayang-bayang. Hanya dengan partisipasi mereka di open-science dan juga pendanaan serius dari pemerintah yang bisa menarik mereka keluar bayang-bayang dan bekerja dalam kesetaraan di pentas sains dunia.
Dyna Rochmyaningsih
Jurnalis
http://sains.kompas.com/read/2017/12/27/200230323/ilmuwan-indonesia-akankah-selamanya-menjadi-ali
Ilmuwan Indonesia, Akankah Selamanya Menjadi Ali?
Reviewed by Global Network
on
Januari 01, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: