Kala Ibu Kampung Melenggok
NU Bogor - Jakarta - Festival Toleransi Rakyat (Peace Festival 2018) di La Piazza, Gandaria City, Jakarta resmi dibuka siang ini, Jumat (8/02). Festival ini dibuka dengan lomba peragaan busana (fashion show) kaum perempuan desa.
Sebanyak 23 orang ‘emak-emak’ tampak lincah berlenggok-lenggok di atas panggung dan lantai catwalk. Padahal, mereka adalah perempuan desa biasa yang tak pernah bersentuhan dengan dunia fesyen. Bahkan sebagian besar peserta baru kali ini menjejakkan kaki di Ibukota.
Di antara peserta malah ada yang menjahit sendiri busana yang diperagakan. Namun, mereka mampu menunjukkan kemampuan sebagai model. Tak kalah dengan model-model profesional.
Sambutan penonton sangat meriah. Mereka bersorak-sorai melihat ‘kaum emak’ yang tengah beraksi. Sebagian lagi bahkan berteriak kencang mendukung jagoan masing-masing.
Tak hanya kemampuan melenggok, peserta juga diuji kemampuannya dalam berbicara di depan forum. Sebanyak 23 peserta tersebut diseleksi menjadi 12 besar. Dan dari 12 ini, para juri memilih lima orang pemenang dengan nilai terbanyak. Para juri dalam ajang unjuk busana ini adalah Olga Lidya (artis), Nia Dinata (sutradara), Amy Atmanto (perancang busana), dan Ai Syarif (Femina Group).
Setelah melalui proses penjurian yang cukup menegangkan, akhirnya para juri sepakat menetapkan para jawara. Qoriatul Azizah, asal Batu, Malang, Jawa Timur berhasil meraih juara pertama. Berturut-turut diikuti oleh Maria Sendi (Malang) di tempat kedua, Anita Sari (Malang) juara tiga, Siti Fatimah (Malang) di tempat keempat, dan Galih Nur (Klaten) sebagai juara kelima.
Qoriatul mengaku bangga bisa meraih juara pertama. Sebagai orang desa, ia tak menyangka dirinya mampu tampil bagus dalam fashion show ini. “Apalagi jurinya adalah para artis dan orang terkenal. Jadi tantangannya sangat luar biasa. Tapi alhamdulillah, saya mampu tampil,” ungkapnya.
Qoriatul mengatakan ajang ini merupakan sarana untuk melatih kepercayaan diri dan keberanian, serta menghilangkan rasa takut. “Saya melepaskan itu semua. Padahal saya bukan model. Jangankan model, bersentuhan dengan dunia fesyen pun saya tak pernah,” tuturnya.
Walau begitu, para peserta mampu menampilkan peragaan yang luar biasa. Mereka mengaku bangga bisa tampil di ajang ini. “Kami adalah orang-orang desa yang tak pernah bertemu artis. Dan kini tiba-tiba harus tampil di depan artis. Ini merupakan kebanggaan besar buat saya,” ucap Qoriatul.
Keberhasilan ini, menurut Qoriatul, bak mimpi yang menjadi nyata. Menurutnya, tiap mimpi akan menjadi nyata selama yang bersangkutan bersungguh-sungguh menggapainya. Artinya, tiap orang dituntut untuk terus belajar dan bekerja keras menggapai mimpi itu. “Selama kita mau belajar, semuanya pasti mungkin,” pungkasnya.
Kekaguman juri
Sebagai salah satu juri, Olga mengaku kaget dan kagum dengan penampilan ‘emak-emak’ ini. Ia pikir penjurian akan mudah karena semua peserta belum pernah naik ke atas panggung.
“Apalagi mereka belum pernah ke Jakarta. Paling banyak yang grogi, jadi tinggal mengeliminasi. Ternyata tidak. Mereka berjalan di catwalk dengan penuh percaya,” kata Olga sembari tertawa.
Apalagi, sambung Olga, para peserta adalah agen-agen perdamaian. Mereka harus merasa sangat nyaman dengan dirinya. “Itulah yang saya lihat dari penampilan mereka, yang membuat penjurian jadi cukup susah. Saya pun mulai langsung pegang-pegang kepala,” ujarnya.
Dan ternyata prediksi Olga tentang peserta salah. Tak seperti yang ia bayangkan. Demikian pula yang dirasakan juri lainnya. Namun, para juri akhirnya sepakat memilih yang terbaik. Para peserta, kata Olga, tidak hanya menunjukkan kepercayaan diri tapi sudah menunjukkan sikap kepemimpinan.
Karena itulah, para juri satu suara memilih Qoriatul Azizah sebagai kampiun dalam peragaan busana ini. Para juri juga secara bulat memilih juara satu sampai lima. Bagi juri, yang terpenting adalah peserta harus dapat memberikan inspirasi sebagai agen perdamaian. Mereka harus dapat memotivasi orang-orang di lingkungannya.
Olga mengaku tidak tahu latar belakang peserta dan bagaimana mereka bisa terlibat dalam acara ini. Yang ia tahu adalah peserta merupakan ibu-ibu biasa, dari desa-desa yang menjadi binaan Wahid Foundation. “Dalam hal ini saya angkat topi pada Wahid Foundation. Mereka telah melakukan sebuah pekerjaan yang luar biasa,” sanjungnya.
Ia berharap acara yang digelar Wahid Foundation ini menjadi inspirasi. Dan makin banyak perempuan yang terlibat dalam program-program perdamaian dan toleransi. Tak hanya dari kalangan perempuan desa, tapi dari beragam latar belakang. Agar mereka bisa melihat betapa positifnya gerakan ini dan memberikan dukungan.
Setali tiga uang, Nia juga mengaku kaget dan terharu dengan penampilan ibu-ibu itu. Menurutnya, ibu-ibu tersebut kelihatan sangat bahagia bisa tampil mal. “Saya terharu, ada ibu yang belum pernah ke Jakarta. Dan kalau acara ini dibuat tahunan, maka akan benar-benar memberdayakan ibu-ibu,” ujarnya.
Menurut Nia, kadang ada ibu-ibu yang berpikir dedikasinya hanya untuk suami dan anak. Padahal mereka bisa berdaya di bidang ekonomi maupun masyarakat sekitarnya. “Jadi saya pikir ini empowering moment (saat yang memberdayakan). Reward-nya (apresiasi) tidak bisa bisa diukur tapi membuat mereka lebih percaya diri,” jelas Nia.
Nia juga mengapresiasi mal-mal yang memfasilitasi kegiatan seperti ini. Karena tidak semua acara harus komersilkan.
Industri kreatif
Sementara itu, Amy memuji Wahid Foundation yang menggabungkan ajang lomba fesyen dengan perdamaian dan kerukunan. Menurut dia, acara ini sungguh luar biasa. Amy mengaku sangat mendukung apa yang dilakukan Wahid Foundation dalam pemberdayaan perempuan Indonesia yang kuat dan tangguh.
“Dan saya lihat core-nya adalah perdamaian dalam lingkup mikro ekonomi dan industri kreatif. Semangat untuk menumbuhkan industri kreatif untuk perempuan berdaya yang memberdayakan lingkungan dan untuk tujuan damai, itu sangat luar biasa,” ujarnya.
Ini menilai kegiatan Wahid Foundation kian baik dari waktu ke waktu. Hasil-hasil pelatihan yayasan ini, menurut Amy, bisa dijual. “Ke depan saya rasa orang di daerah tidak lagi dalam bayangan kita sebagai ibu-ibu yang tertinggal. Mungkin saat ini mereka beginner (pemula) tapi suatu saat mereka akan ke tahap advance (lanjut),” kata Amy.
Ai Syarif yang telah menggeluti dunia fesyen lebih dari 23 tahun mengaku kagum dengan kepercayaan diri para peserta. Selama ini, orang berpikir dunia fesyen hanya di Jakarta. “Pesertanya adalah perempuan dari kota kecil yang mewakili daerahnya. Dan setelah ini mereka tidak akan berhenti sampai di sini, tapi akan terus bekerja untuk kemajuan daerahnya masing-masing,” terang Syarif.
Ia berharap ke depannya akan ada event untuk fashion desainer bahkan beauty make-up. “Produk beauty make-up kan banyak sekali, saya rasa itu harus didukung. Mungkin mereka di daerah belum terbiasa dengan dress-up atau baju-baju yang di panggung itu harus seperti apa. Dan make-up-nya juga seperti apa,” kata Syarif.
“Bayangkan ibu-ibu kampung yang biasa dasteran dan bersendal jepit, mendadak harus berdandan cantik dan memakai sepatu hak tinggi, melenggak lenggok diatas panggung dihadapan para selebriti, dan bercerita tentang upaya membangun perdamaian dikampungnya. Itulah gambaran fashion show yang melibatkan ibu-ibu Desa Damai binaan Wahid Foundation bersama UN Women, yang khusus didatangkan dari 3 provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur” Pungkas Yenny Wahid.
Kala Ibu Kampung Melenggok
Reviewed by Global Network
on
Februari 09, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: