Salah Kaprah Soal Hijrah (Bagian 1)
NU Bogor - Belakangan ini kata 'hijrah' menjadi tenar. Padahal hijrah pada awalnya dipahami sebagai ikhtiar kepindahan seseorang dari satu tempat ke tempat lain. Namun belakangan ini, hijrah dipahami sebagai upaya pertobatan seseorang, dengan perubahan yang paling mencolok: perubahan cara berpakaian, berbicara dan bergaul. Kalau saja makna hijrah dipahami sebagai ikhtiar perubahan akhlakul karimah dan peningkatan ibadah, pemaknanaan seperti demikian memang bagus, hanya saja pada kenyataannya, apa yang dipahami sebagai hijrah adalah perubahan serba mencolok dan ekstrim: mulai dari cara berpakaian, berbicara dan bergaul.
Perilaku radikal biasanya bersumber dari pemahaman radikal. Sebuah pemahaman yang ekstrim dan mencolok sehingga dapat menimbulkan kesan yang 'wah' kepada siapa saja yang melihatnya. Dari situlah salah kaprah soal hijrah bermula. Hijrah yang dimaknai hanya secara simbol dan dangkal. Hijrah yang kehilangan makna subtantif, hijrah yang bahkan meninggalkan kearifan budaya lokal. Fenomena hijrah ini bisa kita lihat dengan sangat mencolok, misalnya seorang pemain musik, artis, pengusaha, preman dlsj, yang tiba-tiba memutuskan untuk meninggalkan kebiasaan dan pekerjaannya.
Tobat, insaf, atau hijrah adalah itikad yang baik, tetapi cara bertobat, berinsaf atau berhijrah tidak harus selalu ekstrim sebagaimana realitas hijrah yang belakangan mengemuka. Cara berhijrah seperti demikian tidak ada rujukannya dengan apa yang telah mentradisi di kalangan Muslim kultural Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Maka di sini saya ingin menegaskan bahwa, berhijrahlah dengan sabar dan tekun. Berhijrah yang baik adalah dengan proses, tidak perlu tergiur dengan cara-cara yang 'bim salabim.' Hijrah sepenuhnya merupakan kesadaran kita untuk mendekat secara intim kepada Allah. Biar saja kita menikmati keintiman tobat kita bersama Allah saja.
Umumnya mereka yang berhijrah adalah mereka yang mengaku berdosa, mereka ingin belajar tentang agama dengan lebih fokus lagi. Mereka merasakan jenuh dan gersang dengan segala hiruk-pikuk dunia dan gemerlap maksiat. Hanya saja yang disayangkan adalah mereka yang hendak bertobat ini tidak mengikuti cara bertobat sebagaimana dipahami oleh ulama pesantren. Ulama-ulama yang keilmuan dan sanadnya muttasil (menyambung) pada ulama Nusantara dahulu, terus sampai pada Walisongo, tabiin, sahabat dan Nabi Muhammad saw. Jejak keilmuan yang kesahihannya dapat dipertanggungjawabakan.
Mereka para penganut hijrahpun akhirnya terkungkung simbol: berpakaian serba tertutup, berbicara dengan gaya Arab, mengisolir diri ketika bergaul. Padahal kalau benar kita mau bertobat, niat dengan sungguh-sungguh, sesali perbuatan dosa, tidak mengulanginya dan konsisten beribadah serta beramal saleh. Yang menjadi pemain musik dan mau berhijrah, tidak perlu keluar dari profesinya sebagai pemusik. Tetap menjadi pemusik, menjadi pemusik yang beriman dan berbudaya. Begitupun yang menjadi artis, pengusaha, dll tetaplah dalam posisinya semua, tidak perlu semuanya beralih profesi menjadi ustadz dan ustadzah dadakan. Wallaahu a'lam
Penulis, Mamang M Haerudin (Aa)
Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah
Perilaku radikal biasanya bersumber dari pemahaman radikal. Sebuah pemahaman yang ekstrim dan mencolok sehingga dapat menimbulkan kesan yang 'wah' kepada siapa saja yang melihatnya. Dari situlah salah kaprah soal hijrah bermula. Hijrah yang dimaknai hanya secara simbol dan dangkal. Hijrah yang kehilangan makna subtantif, hijrah yang bahkan meninggalkan kearifan budaya lokal. Fenomena hijrah ini bisa kita lihat dengan sangat mencolok, misalnya seorang pemain musik, artis, pengusaha, preman dlsj, yang tiba-tiba memutuskan untuk meninggalkan kebiasaan dan pekerjaannya.
Tobat, insaf, atau hijrah adalah itikad yang baik, tetapi cara bertobat, berinsaf atau berhijrah tidak harus selalu ekstrim sebagaimana realitas hijrah yang belakangan mengemuka. Cara berhijrah seperti demikian tidak ada rujukannya dengan apa yang telah mentradisi di kalangan Muslim kultural Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Maka di sini saya ingin menegaskan bahwa, berhijrahlah dengan sabar dan tekun. Berhijrah yang baik adalah dengan proses, tidak perlu tergiur dengan cara-cara yang 'bim salabim.' Hijrah sepenuhnya merupakan kesadaran kita untuk mendekat secara intim kepada Allah. Biar saja kita menikmati keintiman tobat kita bersama Allah saja.
Umumnya mereka yang berhijrah adalah mereka yang mengaku berdosa, mereka ingin belajar tentang agama dengan lebih fokus lagi. Mereka merasakan jenuh dan gersang dengan segala hiruk-pikuk dunia dan gemerlap maksiat. Hanya saja yang disayangkan adalah mereka yang hendak bertobat ini tidak mengikuti cara bertobat sebagaimana dipahami oleh ulama pesantren. Ulama-ulama yang keilmuan dan sanadnya muttasil (menyambung) pada ulama Nusantara dahulu, terus sampai pada Walisongo, tabiin, sahabat dan Nabi Muhammad saw. Jejak keilmuan yang kesahihannya dapat dipertanggungjawabakan.
Mereka para penganut hijrahpun akhirnya terkungkung simbol: berpakaian serba tertutup, berbicara dengan gaya Arab, mengisolir diri ketika bergaul. Padahal kalau benar kita mau bertobat, niat dengan sungguh-sungguh, sesali perbuatan dosa, tidak mengulanginya dan konsisten beribadah serta beramal saleh. Yang menjadi pemain musik dan mau berhijrah, tidak perlu keluar dari profesinya sebagai pemusik. Tetap menjadi pemusik, menjadi pemusik yang beriman dan berbudaya. Begitupun yang menjadi artis, pengusaha, dll tetaplah dalam posisinya semua, tidak perlu semuanya beralih profesi menjadi ustadz dan ustadzah dadakan. Wallaahu a'lam
Penulis, Mamang M Haerudin (Aa)
Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah
Salah Kaprah Soal Hijrah (Bagian 1)
Reviewed by Global Network
on
Juni 16, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: