Habib beneran VS Habib abal-abal
NU Bogor - NUKITA.ID, MALANG – Saya begitu kagum dan nge-fans dg kedua habib ini. Ya, Habib Alwi b. Salim Alaydrus dan keponakan beliau, Habib Sholeh bin Ahmad bin Salim Alaydrus, Malang, Jawa Timur.
Bukan sekedar karena ke-'muttafaq alaih'-an alim allamah beliau berdua yang menjadi salah satu pintu saya untuk memahami fiqih. Namun juga karena keagungan akhlak beliau sehingga saya menyebut beliau sebagai 'al habib kullal habib'; habib yang sesungguhnya.
Keagungan akhlak beliau nampak ketika ngaji dulu semua santri yang semua 'ngalong' itu selalu diberi ka'ak dan kopi Arab sebagai suguhan ngaji. Bahkan tak jarang juga diberi makanan Arab untuk jadi rebutan santri.
Beliau juga selalu sabar menuntun bacaan santri yang salah dan menerangkan bahasan sesulit apapun pada kitab Fathul Wahab dan muhadzab kepada santri pesek dan goblog seperti saya ini.
Yang ajib, pernah saya memanggil putra beliau yang masih muda itu dengan panggilan 'habib', namun beliau malah mengingatkan "Anak saya belum habib, panggil saja Sayid".
Itu sebabnya kami terbiasa memanggil putera habib yg muda dg panggilan 'yid' dan 'yek' sebagaimana saya juga memanggil putera kyai saya dg panggilan Gus.
Pancaran dari seorang habib yg khumul, humble, tawadlu, menjauhi ketenaran, apalagi keinginan jadi artis panggung dan artis jalanan. Waktu dan kesempatan beliau berdua nyata hanya didedikasikan utk ilmu dan melayani santri, bukan malah minta dilayani.
Habib dlm bahasa Arab merupakan bentuk kalimah yang bisa berfungsi kalimah isim fail (subjek; orang yang mencintai) dan isim maful (objek; orang yang dicintai). Itu sebabnya 'habib' sebenarnya merupakan gelar prestisius dan berat bagi siapapun yang menyandangnya.
Karena secara hakikat orang yang berani menyebut dirinya habib hrs memiliki kualifikasi sebagai oarang yang allamah dan memiliki keagungan akhlak untuk mampu mencintai dan dicintai umat sebagaimana kedua habib guru saya ini.
Jadi habib jangan dianggap siapapun mereka yang cukup memiliki nasab mu'tabar dari para sadat hadromy Yamani seperti diklaim banyak pemilik hidung mancung saat ini.
Ahlu Tarim sendiri ihtilaf siapa ulama hadromy Yamani pertama kali yang diberi gelar habib, meski mayoritas mengerucut pada satu nama, yakni alhabib Abdullah bin Muhamad Al Haddad krn kealiman dan keagungan akhlak penggubah ratibul Haddad ini.
Sebab nyatanya kakek buyut para habaib hadromy Yamani, yakni Sayid Al Muhajir Muhammad b. Ali bin Muhammad Shohibu Mirbat sendiri tidak bergelar Alhabib. Namun hanya bergelar Sayid Al Faqih muqoddam karena kealiman dan kemuliaan beliau.
Dengan demikian, habib, sebagaimana kiai, tuan guru, ajengan, ustadz, gus, bunyai, dan lain-lain hanyalah atribut sosial untuk menyebut mereka yang memiliki (1) kapasitas keilmuan agama yangg mumpuni (2) memiliki suluk amal dan moral agung sebagai pewaris para nabi (3) memiliki ittishol nasab atau sanad kepada Kanjeng Nabi.
Kualifikasi inilah yang digambarkan Syekh Abdurrahman ad Diba'i dengan lantunan bait pujian kepada para ahli Bayt Rasulullah;
أهل بيت المصطفى الطهر # هم أمان الأرض فاذكر ..
ولغير الله ما قصدوا # ومع القرآن في قرن
شبهوا بالأنجم الزهر # مثل ما قد جاء في السنن
"Anggota keluarga Rasulullah yang suci, mereka adalah penjaga perdamaian dunia..
Mereka menjadikan Allah sebagai tujuan, dan menjadikan ajaran Al Qur'an sebagai mahkota..
Mereka menjadi penerang umat dengan ilmu dan akhlaknya sebagaimana dituntunkan Rasulullah melalui sunnah sunnah-Nya.."
Harus diakui siapapun, khususnya mereka yang mengaku habib bahwa hanya orang NU yang memuliakan mereka. Hanya orang Ahlussunah di Nusantara yang mau nunduk nunduk dan mencium tangan mereka. Coba cari, apa ada orang selain orang NU yang mau melantunkan bait maulid Diba' di atas? Apa ada ulama selain kiai NU yang menyuruh memuliakan mereka?
Maka saya begitu merasa aneh dengan mereka yang mengaku habib namun malah mencaci dan menyerang orang NU dan kiai panutan orang NU. Memang selama ini yang memuliakan mereka siapa? Dan yang menyuruh orang NU memuliakan mereka itu siapa? Demit?
Layakkah mereka menyandang atribut prestige sebagai ahli Bayt yg mestinya menjadi sosok alim allamah dan memuliakan diri dengan akhlak agung Rasulullah tapi malah melakukan tindakan tidak bermoral? Pantaskah mereka disebut habib yang seharusnya selalu mencintai umat agar dicintai umat tapi malah mencemari dirinya dengan cacian. Apa mau mereka disebut habib abal-abal?
Maka benar dawuh Mbah Manap Kiai saya; "Jangan bangga dengan nasab karena nasab itu hanya ibarat gelas kristal yang akan memberi aura, kharisma kepada siapapun yang mengenal. Namun keindahan gelas kristal itu pasti akan ambyar jika diisi kotoran".
Apa dikira di akhirat nanti keselamatan akan diukur dengan nasab dan atribut sosial, bukan kualitas diri dan amal? Salam Islam Nusantara.(*)
Oleh H. Abu Yazid AM, MA, Ketua Cabang RMI NU Kabupaten Malang
Bukan sekedar karena ke-'muttafaq alaih'-an alim allamah beliau berdua yang menjadi salah satu pintu saya untuk memahami fiqih. Namun juga karena keagungan akhlak beliau sehingga saya menyebut beliau sebagai 'al habib kullal habib'; habib yang sesungguhnya.
Keagungan akhlak beliau nampak ketika ngaji dulu semua santri yang semua 'ngalong' itu selalu diberi ka'ak dan kopi Arab sebagai suguhan ngaji. Bahkan tak jarang juga diberi makanan Arab untuk jadi rebutan santri.
Beliau juga selalu sabar menuntun bacaan santri yang salah dan menerangkan bahasan sesulit apapun pada kitab Fathul Wahab dan muhadzab kepada santri pesek dan goblog seperti saya ini.
Yang ajib, pernah saya memanggil putra beliau yang masih muda itu dengan panggilan 'habib', namun beliau malah mengingatkan "Anak saya belum habib, panggil saja Sayid".
Itu sebabnya kami terbiasa memanggil putera habib yg muda dg panggilan 'yid' dan 'yek' sebagaimana saya juga memanggil putera kyai saya dg panggilan Gus.
Pancaran dari seorang habib yg khumul, humble, tawadlu, menjauhi ketenaran, apalagi keinginan jadi artis panggung dan artis jalanan. Waktu dan kesempatan beliau berdua nyata hanya didedikasikan utk ilmu dan melayani santri, bukan malah minta dilayani.
Habib dlm bahasa Arab merupakan bentuk kalimah yang bisa berfungsi kalimah isim fail (subjek; orang yang mencintai) dan isim maful (objek; orang yang dicintai). Itu sebabnya 'habib' sebenarnya merupakan gelar prestisius dan berat bagi siapapun yang menyandangnya.
Karena secara hakikat orang yang berani menyebut dirinya habib hrs memiliki kualifikasi sebagai oarang yang allamah dan memiliki keagungan akhlak untuk mampu mencintai dan dicintai umat sebagaimana kedua habib guru saya ini.
Jadi habib jangan dianggap siapapun mereka yang cukup memiliki nasab mu'tabar dari para sadat hadromy Yamani seperti diklaim banyak pemilik hidung mancung saat ini.
Ahlu Tarim sendiri ihtilaf siapa ulama hadromy Yamani pertama kali yang diberi gelar habib, meski mayoritas mengerucut pada satu nama, yakni alhabib Abdullah bin Muhamad Al Haddad krn kealiman dan keagungan akhlak penggubah ratibul Haddad ini.
Sebab nyatanya kakek buyut para habaib hadromy Yamani, yakni Sayid Al Muhajir Muhammad b. Ali bin Muhammad Shohibu Mirbat sendiri tidak bergelar Alhabib. Namun hanya bergelar Sayid Al Faqih muqoddam karena kealiman dan kemuliaan beliau.
Dengan demikian, habib, sebagaimana kiai, tuan guru, ajengan, ustadz, gus, bunyai, dan lain-lain hanyalah atribut sosial untuk menyebut mereka yang memiliki (1) kapasitas keilmuan agama yangg mumpuni (2) memiliki suluk amal dan moral agung sebagai pewaris para nabi (3) memiliki ittishol nasab atau sanad kepada Kanjeng Nabi.
Kualifikasi inilah yang digambarkan Syekh Abdurrahman ad Diba'i dengan lantunan bait pujian kepada para ahli Bayt Rasulullah;
أهل بيت المصطفى الطهر # هم أمان الأرض فاذكر ..
ولغير الله ما قصدوا # ومع القرآن في قرن
شبهوا بالأنجم الزهر # مثل ما قد جاء في السنن
"Anggota keluarga Rasulullah yang suci, mereka adalah penjaga perdamaian dunia..
Mereka menjadikan Allah sebagai tujuan, dan menjadikan ajaran Al Qur'an sebagai mahkota..
Mereka menjadi penerang umat dengan ilmu dan akhlaknya sebagaimana dituntunkan Rasulullah melalui sunnah sunnah-Nya.."
Harus diakui siapapun, khususnya mereka yang mengaku habib bahwa hanya orang NU yang memuliakan mereka. Hanya orang Ahlussunah di Nusantara yang mau nunduk nunduk dan mencium tangan mereka. Coba cari, apa ada orang selain orang NU yang mau melantunkan bait maulid Diba' di atas? Apa ada ulama selain kiai NU yang menyuruh memuliakan mereka?
Maka saya begitu merasa aneh dengan mereka yang mengaku habib namun malah mencaci dan menyerang orang NU dan kiai panutan orang NU. Memang selama ini yang memuliakan mereka siapa? Dan yang menyuruh orang NU memuliakan mereka itu siapa? Demit?
Layakkah mereka menyandang atribut prestige sebagai ahli Bayt yg mestinya menjadi sosok alim allamah dan memuliakan diri dengan akhlak agung Rasulullah tapi malah melakukan tindakan tidak bermoral? Pantaskah mereka disebut habib yang seharusnya selalu mencintai umat agar dicintai umat tapi malah mencemari dirinya dengan cacian. Apa mau mereka disebut habib abal-abal?
Maka benar dawuh Mbah Manap Kiai saya; "Jangan bangga dengan nasab karena nasab itu hanya ibarat gelas kristal yang akan memberi aura, kharisma kepada siapapun yang mengenal. Namun keindahan gelas kristal itu pasti akan ambyar jika diisi kotoran".
Apa dikira di akhirat nanti keselamatan akan diukur dengan nasab dan atribut sosial, bukan kualitas diri dan amal? Salam Islam Nusantara.(*)
Oleh H. Abu Yazid AM, MA, Ketua Cabang RMI NU Kabupaten Malang
Habib beneran VS Habib abal-abal
Reviewed by Global Network
on
Oktober 27, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: