Jihad Melawan Hoax
NU Bogor - Modernisasi telah menggiring perubahan yang kompleks pada masyarakat. salah satu dari aspek perubahan dimasyarakat yaitu bersentuhan dengan aspek informasi dan komunikasi yang beriringan dengan model interaksi dan relasi sosial yang terjadi sekarang ini. Pasca repolusi industri, teknologi media atau elektronik yang berkembang ini menjadi kebutuhan primer bagi publik. Elektronik tidak sebatas dijadikan sebagai kebutuhan informasi saja melainkan itu dijadikan sebagai media untuk kepentingan tertentu.
Dengan demikian, teknologi informasi dan komunikasi (information of technology) telah mengukuhkan diri sebagi piranti yang erat kaitannya denga masyarakat. Elektronik dan pesan-pesan literasi digital kini menjadi viral ditengah-tengah publik. Elektronik dijadikan sebagai media sosial dalam berbagai kebutuhan dan kepentingan tertentu. Di era sekarang ini berbagai media sosial telah digunakan baik itu melalui Facebook, What’s up, BBM, Tweeter, dan media lainnya. Dimana medsos tersebut telah menggiring publik untuk mengekspresikan kepentingannya dengan bebas tanpa mempertimbangkan norma dan etika dalam komunikasi.
Kita pahami bahwa realita saat ini dengan merebaknya media sosisal dan kesempatan untuk eksis dibeberapa flatform ini telah menggiring asumsi publik bahwa siapapun bisa membuat akun kapan saja dan apa saja. Begitu cepatnya informasi, mudahnya membagi dan mengekspose informasi tanpa identifikasi identitas yang spesisfik telah memunculkan chaos yang sulit diprediksi sebelumnya. Hoax atau berita palsu adalah realitas dari konidsi dari chaos akibat difusi dari perkembangan ICT. Hoax ini merupakan imbas dari prilaku mekanis atas masifnya teknologi dan media sosial. Fenomena hoax ini merupakan bentuk dari hyperreality dimana kenyataan berlebihan yang sudah terjadi puluhan tahun sebelumnya bahkan mungkin ratusan tahun ketika istilah hoax ini belum muncul seperti sekarang ini walaupun pada substansinya sama yaitu memberikan berita palsu sehingga memberikan dampak besar ditengah publik.
Di era sekarang ini, hoax merupakan fenomena yang sedang booming, dimana eksistensinya memberikan dampak besar terhadap berbagai aspek. Apabila kita flash back dalam sejarah istilah hoax ini bukanlah fenomena baru yang muncul pada zaman digital justru substansinya istilah ini sudah muncul pada era Nabi Adam AS sebagai manusia pertama yang terjebak dengan berita bohong dari Iblis. Nabi Adam AS mengikuti bisikan bohong yang disampaikan oleh Iblis sehingga atas tindkannya Nabi Adam AS harus keluar dari surga. Kabar hoax terebut itu tidak berhenti pada masa Nabi Adam AS melainkan ini terus belanjut pada masa Nabi Muhammad SAW. Dimana pada waktu itu Istri Nabi Muhammad SAW, Aisyah di isukan berselingkuh dengan Safwan bin al-Mu’attal Al-Sulami Al-Dhakwani ketika mengantarnya pulang ke Madinah akibat ditinggalkan oleh beberapa rombongan sahabat setelah sekembali ke madinah isu inipun menjadi viral dikalangan para shabat sehingga Nabi Muhammad SAW pun hampir terjebak dengan isu hoax tersebut tapi kegelisahan Nabi Muhammad SAW pun dapat terjawab dengan turunnya firman Allah SWT dalam surat (QS. An-Nur 24:11).
Ayat tersebut merupakan jawaban dan kecaman terhadap orang-orang yang membuat berita palsu (hoax). Bahkan isu hoax ini tidak cukup berhenti sampai Nabi Muhammad SAW, isu ini terus berkembang pada masa sahabat sehingga ini menyebabkan terbunuhnya sahabat Utsman bin Afan, akibat termakannya isu hoax inipun sahabat Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh kaum Khawarij dengan alasan beliau tidak menegakan Hukum Islam dalam tahkim yang dilakukan kedua kubu yaitu Ali bin Abi Thalib yang diwakili oleh Abu Musa Al-Asya’ri dan Muawwiyah yang diwakili oleh Amru bin As.
Berita palsu (hoax) ini, tidak cukup menggerogoti pada priode Sahabat saja melainkan ini terjadi pada masa Pra-Kemerdekaan dan Pasca-kemerdekaan. Di era kemerdekaan istilah hoax ini muncul dengan berbagai propaganda yang begitu dahsyat sehingga hoax ini mengundang untuk memecah belah bangsa. Ketika K.H. Wahab Hasbullah & K.H. Hasyim Asy’ari menyuarakan Resolusi Jihad untuk mengusir penjajah belanda disitupun fitnah (hoax) muncul sebagai propaganda untuk melemahkan semangat jihad umat muslim, warga Nahdiyin pada khususnya, isu resolusi Jihad ditafsirkan oleh yang berkepentingan sebagai pendirian Khilafah Islamiyah sehingga dibentrokan dengan pemerintahan Soekarno tapi dengan tabayunnya K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Hasyim Asy’ari dan tokoh Muslim lainnya maka isu hoax ini dapat terbantahkan. Begitu juga ketika Muktamar NU ke-33 pada tanggal 1-5 Agustus 2015 di Jombang, Jawa Timur dengan mengangkat tema “Islam Nusantara” dimana tema ini dimanfaatkan oleh elit dan tokoh tertentu dijadikan sebagai propaganda bahwa Islam Nusantara merupakan Ideologi baru yang memberikan penyesatan terhadap kaum Muslim, dan ini merupakan hoax yang dihadapi dan diterima oleh kaum Nahdiyin padahal faktanya bahwa Islam Nusantara bukanlah agama baru melainkan manhaj atau methodology dalam beragama yang mengedepankan dialogis, tabayun yang disinergiskan dengan kebudayaan Nusantara dengan proses akulturasi, seleksi dan adaptasi.
Inilah proses berita palsu (hoax) terus berjalan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga presiden Jokowi pun harus turun tangan terkait dengan penyebaran kebencian dan permusuhan yang dibungkus dengan istilah “hoax” ada beberapa web yang menyebarkan content-content berita palsu sehingga menyebabkan kecurigaan dan kegaduhan ditengah-tengah publik. Seperti kasus Saracen yang diduga aktif dalam menyebarkan berita bohong yang dibalut dengan aroma SARA dimedia sosial berdasarkankepentingan tertentu dan begitu juga dengan kasus the family of Muslim Cyber Army (MCA) diduga sebagai media sosial yang menyebarkan isu palsu (hoax) terkait dengan pembentukan opini dan isu penyerangan ulama secara terorganisir.
Lalu bagaimana pandangan kita dalam menyikapi berita palsu (hoax) tersebut?
Kita fahami bahwa perkembangan pengguna media internet di Indonesia mencapai pada peringkat yang luar biasa. Dari catatan riset, ini telah memberikan fakta bahwa pengguna media internet netizen Indonesia mencapai peringkat ke 4 di Asia sebagai konsumen bukan creator. Maka dalam hal ini kita dituntut untuk mempelajari dan mengkaji literasi digital untuk dunia pendidikan. Hoax ini menjadi tantangan bagi kita karena virus hoax ini tidak memandang dunia pendidikan. Karena hoax dapat masuk kesemua aspek baik ekonomi, budaya, politik, pendidikan dan insfrastruktur kebudayaan lainnya. Yang lebih bahaya lagi apabila hoax sudah mengancam keutuhan Bangsa dan Agama. Dan ini merupakan tanggung jawab bersama dalam mencegah dan memeranginya. Dalam mengkaji berita palsu (hoax), ini perlu dilakukan dengan pendekatan tabayun. Proses tabayun ini merupakan hasil pengejawantahan dari kaidah ushul fiqh yaitu; “Dar’ul Mafasid Aula min jalbil Mashalih” menghilangkan kemadharatan (informasi yang berdampak negative terhadap publik) itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan (walaupun ada sisi manfaat bagi publik). Maka dalam hal ini kita dituntut untuk bersikap tabayun dalam artian bahwa kita perlu mengklarifikasi terkait dengan pembenaran berita tersebut. Proses tabayun ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan; seperti dengan melakukan pengechekan terhadap judul berita provokatif, mengkaji dan meneliti sumber situs web yang dijadikan sebagai berita dan memahami fakta dan opini sehingga kita sebagai pembaca atau pendengar tidak terjebak dengan hoax. Mengambil sikap tabayun dalam mengkaji berita palsu (hoax) di era digital ini merupakan proses jihad dalam memerangi hoax.
Hapid Ali
Penulis aktif di PW Lakpesdam NU Jawa Barat
Dengan demikian, teknologi informasi dan komunikasi (information of technology) telah mengukuhkan diri sebagi piranti yang erat kaitannya denga masyarakat. Elektronik dan pesan-pesan literasi digital kini menjadi viral ditengah-tengah publik. Elektronik dijadikan sebagai media sosial dalam berbagai kebutuhan dan kepentingan tertentu. Di era sekarang ini berbagai media sosial telah digunakan baik itu melalui Facebook, What’s up, BBM, Tweeter, dan media lainnya. Dimana medsos tersebut telah menggiring publik untuk mengekspresikan kepentingannya dengan bebas tanpa mempertimbangkan norma dan etika dalam komunikasi.
Kita pahami bahwa realita saat ini dengan merebaknya media sosisal dan kesempatan untuk eksis dibeberapa flatform ini telah menggiring asumsi publik bahwa siapapun bisa membuat akun kapan saja dan apa saja. Begitu cepatnya informasi, mudahnya membagi dan mengekspose informasi tanpa identifikasi identitas yang spesisfik telah memunculkan chaos yang sulit diprediksi sebelumnya. Hoax atau berita palsu adalah realitas dari konidsi dari chaos akibat difusi dari perkembangan ICT. Hoax ini merupakan imbas dari prilaku mekanis atas masifnya teknologi dan media sosial. Fenomena hoax ini merupakan bentuk dari hyperreality dimana kenyataan berlebihan yang sudah terjadi puluhan tahun sebelumnya bahkan mungkin ratusan tahun ketika istilah hoax ini belum muncul seperti sekarang ini walaupun pada substansinya sama yaitu memberikan berita palsu sehingga memberikan dampak besar ditengah publik.
Di era sekarang ini, hoax merupakan fenomena yang sedang booming, dimana eksistensinya memberikan dampak besar terhadap berbagai aspek. Apabila kita flash back dalam sejarah istilah hoax ini bukanlah fenomena baru yang muncul pada zaman digital justru substansinya istilah ini sudah muncul pada era Nabi Adam AS sebagai manusia pertama yang terjebak dengan berita bohong dari Iblis. Nabi Adam AS mengikuti bisikan bohong yang disampaikan oleh Iblis sehingga atas tindkannya Nabi Adam AS harus keluar dari surga. Kabar hoax terebut itu tidak berhenti pada masa Nabi Adam AS melainkan ini terus belanjut pada masa Nabi Muhammad SAW. Dimana pada waktu itu Istri Nabi Muhammad SAW, Aisyah di isukan berselingkuh dengan Safwan bin al-Mu’attal Al-Sulami Al-Dhakwani ketika mengantarnya pulang ke Madinah akibat ditinggalkan oleh beberapa rombongan sahabat setelah sekembali ke madinah isu inipun menjadi viral dikalangan para shabat sehingga Nabi Muhammad SAW pun hampir terjebak dengan isu hoax tersebut tapi kegelisahan Nabi Muhammad SAW pun dapat terjawab dengan turunnya firman Allah SWT dalam surat (QS. An-Nur 24:11).
Ayat tersebut merupakan jawaban dan kecaman terhadap orang-orang yang membuat berita palsu (hoax). Bahkan isu hoax ini tidak cukup berhenti sampai Nabi Muhammad SAW, isu ini terus berkembang pada masa sahabat sehingga ini menyebabkan terbunuhnya sahabat Utsman bin Afan, akibat termakannya isu hoax inipun sahabat Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh kaum Khawarij dengan alasan beliau tidak menegakan Hukum Islam dalam tahkim yang dilakukan kedua kubu yaitu Ali bin Abi Thalib yang diwakili oleh Abu Musa Al-Asya’ri dan Muawwiyah yang diwakili oleh Amru bin As.
Berita palsu (hoax) ini, tidak cukup menggerogoti pada priode Sahabat saja melainkan ini terjadi pada masa Pra-Kemerdekaan dan Pasca-kemerdekaan. Di era kemerdekaan istilah hoax ini muncul dengan berbagai propaganda yang begitu dahsyat sehingga hoax ini mengundang untuk memecah belah bangsa. Ketika K.H. Wahab Hasbullah & K.H. Hasyim Asy’ari menyuarakan Resolusi Jihad untuk mengusir penjajah belanda disitupun fitnah (hoax) muncul sebagai propaganda untuk melemahkan semangat jihad umat muslim, warga Nahdiyin pada khususnya, isu resolusi Jihad ditafsirkan oleh yang berkepentingan sebagai pendirian Khilafah Islamiyah sehingga dibentrokan dengan pemerintahan Soekarno tapi dengan tabayunnya K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Hasyim Asy’ari dan tokoh Muslim lainnya maka isu hoax ini dapat terbantahkan. Begitu juga ketika Muktamar NU ke-33 pada tanggal 1-5 Agustus 2015 di Jombang, Jawa Timur dengan mengangkat tema “Islam Nusantara” dimana tema ini dimanfaatkan oleh elit dan tokoh tertentu dijadikan sebagai propaganda bahwa Islam Nusantara merupakan Ideologi baru yang memberikan penyesatan terhadap kaum Muslim, dan ini merupakan hoax yang dihadapi dan diterima oleh kaum Nahdiyin padahal faktanya bahwa Islam Nusantara bukanlah agama baru melainkan manhaj atau methodology dalam beragama yang mengedepankan dialogis, tabayun yang disinergiskan dengan kebudayaan Nusantara dengan proses akulturasi, seleksi dan adaptasi.
Inilah proses berita palsu (hoax) terus berjalan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga presiden Jokowi pun harus turun tangan terkait dengan penyebaran kebencian dan permusuhan yang dibungkus dengan istilah “hoax” ada beberapa web yang menyebarkan content-content berita palsu sehingga menyebabkan kecurigaan dan kegaduhan ditengah-tengah publik. Seperti kasus Saracen yang diduga aktif dalam menyebarkan berita bohong yang dibalut dengan aroma SARA dimedia sosial berdasarkankepentingan tertentu dan begitu juga dengan kasus the family of Muslim Cyber Army (MCA) diduga sebagai media sosial yang menyebarkan isu palsu (hoax) terkait dengan pembentukan opini dan isu penyerangan ulama secara terorganisir.
Lalu bagaimana pandangan kita dalam menyikapi berita palsu (hoax) tersebut?
Kita fahami bahwa perkembangan pengguna media internet di Indonesia mencapai pada peringkat yang luar biasa. Dari catatan riset, ini telah memberikan fakta bahwa pengguna media internet netizen Indonesia mencapai peringkat ke 4 di Asia sebagai konsumen bukan creator. Maka dalam hal ini kita dituntut untuk mempelajari dan mengkaji literasi digital untuk dunia pendidikan. Hoax ini menjadi tantangan bagi kita karena virus hoax ini tidak memandang dunia pendidikan. Karena hoax dapat masuk kesemua aspek baik ekonomi, budaya, politik, pendidikan dan insfrastruktur kebudayaan lainnya. Yang lebih bahaya lagi apabila hoax sudah mengancam keutuhan Bangsa dan Agama. Dan ini merupakan tanggung jawab bersama dalam mencegah dan memeranginya. Dalam mengkaji berita palsu (hoax), ini perlu dilakukan dengan pendekatan tabayun. Proses tabayun ini merupakan hasil pengejawantahan dari kaidah ushul fiqh yaitu; “Dar’ul Mafasid Aula min jalbil Mashalih” menghilangkan kemadharatan (informasi yang berdampak negative terhadap publik) itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan (walaupun ada sisi manfaat bagi publik). Maka dalam hal ini kita dituntut untuk bersikap tabayun dalam artian bahwa kita perlu mengklarifikasi terkait dengan pembenaran berita tersebut. Proses tabayun ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan; seperti dengan melakukan pengechekan terhadap judul berita provokatif, mengkaji dan meneliti sumber situs web yang dijadikan sebagai berita dan memahami fakta dan opini sehingga kita sebagai pembaca atau pendengar tidak terjebak dengan hoax. Mengambil sikap tabayun dalam mengkaji berita palsu (hoax) di era digital ini merupakan proses jihad dalam memerangi hoax.
Hapid Ali
Penulis aktif di PW Lakpesdam NU Jawa Barat
Jihad Melawan Hoax
Reviewed by Global Network
on
Maret 17, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: