The Creative Minority
NU Bogor - Revolusi Dunia adalah konsep marxis berupa penggulingan kapitalisme di semua Negara melalui sebuah tindakan para revolusioner yang sadar yang pada saat itu dilakukan oleh worker class atau kelas pekerja.
Konsep ini lahir karena adanya persamaan nasib ditindas oleh Kapitalisme, namun dibalik itu konsep besar ini lahir karena adanya pertemuan-pertemuan kecil.
Di dalamnya banyak terjadi diskusi panas yang terlontar dari para pemikir. Mereka saling adu konsep, gagasan dan ide tentang polarisasi masa depan pergerakan yang akan dijadikan acuan.
Dari pertemuan inilah muncul sebuah pergerakan yang besar, tatkala pergerakan besar ini lahir sebut saja Revolusi maka aktor-aktor intelektual biasanya tidak terlihat. Yang bisa kita amati hanya dzohir sepintas, pergerakan masa yang muncul itu hanya sebatas pelaksana ide.
Namun, sejatinya para pemikir-pemikir konsep pergerakanlah yang memiliki nahkoda untuk menjalankan sebuah Kapal yang juga sudah terisi penumpang Untuk di arahkan jalannya. Ingin ke Barat atau ke Timur?
Kapal tersebut dapat berlayar dan nanti berlabuh di sebuah pulau yang bernama tujuan pergerakan. Dari situ baru Nahkoda Kapal akan di ingat oleh Umat Manusia, bahwasanya sang Nahkoda berhasil dalam memimpin pelayaran.
Saat ini, melihat fenomena para pelajar Nusantara sangat sedikit sekali yang siap untuk menjadi para pemikir. Tragedi Hoax yang sudah sangat masif dan terstruktur, menjadikan pelajar hanya sebagai follower dan tidak siap untuk menjadi pemikir yang nantinya terproyeksi lahir seorang pemimpin dari pergerakan tersebut.
Dinamika ini yang disebut oleh Arnold Toynbee sebagai the creative minority yang termuat dalam buku A Study of History. Orang-orang kreatif itu biasanya minoritas, sangat sedikit umat manusia yang siap menjadi pemikir. Padahal lagi-lagi Orang-orang yang kreatif-lah yang akan di ingat oleh Zaman karena mereka adalah orang-orang berani dalam membuat ide dan gagasan.
Teringat pula konsep Ra'isul Fikr nya Ali Syari'ati, perihal konsep pergerakan yang nantinya akan lahir sebuah konsep besar yang bernama Revolusi Iran.
Bahkan, jauh sebelum Indonesia ini merdeka HOS Tjokroaminoto membuat sekolah, sebut saja sekolah tersebut adalah perkumpulan yang isinya para pemikir-pemikir pergerakan. Dan didalamnya banyak tokoh yang kita kenal melalui buku-buku sejarah sebagai aktor pendiri NKRI ini.
Di dalam perkumpulan HOS Tjokroaminoto banyak sekali perdebatan perihal arah konsep NKRI ini. Sebut saja Soekarno, Semaoen bahkan Kartosoewiryo yang pemikirannya sampai saat ini masih diminati oleh beberapa pemikir yang lagi-lagi sudah mulai hilang karena faktor zaman.
Saat ini apakah the creative minority itu masih ada? Terlebih kepada para pelajar yang akan menjadi pengganti para pemikir-pemikir Indonesia ke depannya.
Bisakan NU dan Banom-Banomnya menjadi tempat perkumpulan para pemikir? Bukan hanya sebatas tempat berkumpul untuk sekedar ngobrol ngalor ngidul, seperti kata Nusron Wahid dalam sebuah acara Diskusi di Televisi "memang Indonesia tidak mengenal konsep tirani minoritas dan dominasi mayoritas", perlu di ingat the creative minority pun sama dengan yang tadi disinggung di atas, mereka tidak mengenal istilah tersebut.
Jadilah kader yang punya integritas dan kualitas agar dapat melahirkan para pemimpin-pemimpin baru suatu saat nanti.
Terus belajarlah menjadi Pemimpin bukan bos, menjadi leader bukan hanya sekedar director, menjadi pimpinan yang menggema tak hanya bersuara dialektika semata.
Ditulis oleh Azizian
Kader PC Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Bogor
"Bicara Organisasi, maka galakkan Kaderisasi" Azizian |
Konsep ini lahir karena adanya persamaan nasib ditindas oleh Kapitalisme, namun dibalik itu konsep besar ini lahir karena adanya pertemuan-pertemuan kecil.
Di dalamnya banyak terjadi diskusi panas yang terlontar dari para pemikir. Mereka saling adu konsep, gagasan dan ide tentang polarisasi masa depan pergerakan yang akan dijadikan acuan.
Dari pertemuan inilah muncul sebuah pergerakan yang besar, tatkala pergerakan besar ini lahir sebut saja Revolusi maka aktor-aktor intelektual biasanya tidak terlihat. Yang bisa kita amati hanya dzohir sepintas, pergerakan masa yang muncul itu hanya sebatas pelaksana ide.
Namun, sejatinya para pemikir-pemikir konsep pergerakanlah yang memiliki nahkoda untuk menjalankan sebuah Kapal yang juga sudah terisi penumpang Untuk di arahkan jalannya. Ingin ke Barat atau ke Timur?
Kapal tersebut dapat berlayar dan nanti berlabuh di sebuah pulau yang bernama tujuan pergerakan. Dari situ baru Nahkoda Kapal akan di ingat oleh Umat Manusia, bahwasanya sang Nahkoda berhasil dalam memimpin pelayaran.
Saat ini, melihat fenomena para pelajar Nusantara sangat sedikit sekali yang siap untuk menjadi para pemikir. Tragedi Hoax yang sudah sangat masif dan terstruktur, menjadikan pelajar hanya sebagai follower dan tidak siap untuk menjadi pemikir yang nantinya terproyeksi lahir seorang pemimpin dari pergerakan tersebut.
Dinamika ini yang disebut oleh Arnold Toynbee sebagai the creative minority yang termuat dalam buku A Study of History. Orang-orang kreatif itu biasanya minoritas, sangat sedikit umat manusia yang siap menjadi pemikir. Padahal lagi-lagi Orang-orang yang kreatif-lah yang akan di ingat oleh Zaman karena mereka adalah orang-orang berani dalam membuat ide dan gagasan.
Teringat pula konsep Ra'isul Fikr nya Ali Syari'ati, perihal konsep pergerakan yang nantinya akan lahir sebuah konsep besar yang bernama Revolusi Iran.
Bahkan, jauh sebelum Indonesia ini merdeka HOS Tjokroaminoto membuat sekolah, sebut saja sekolah tersebut adalah perkumpulan yang isinya para pemikir-pemikir pergerakan. Dan didalamnya banyak tokoh yang kita kenal melalui buku-buku sejarah sebagai aktor pendiri NKRI ini.
Di dalam perkumpulan HOS Tjokroaminoto banyak sekali perdebatan perihal arah konsep NKRI ini. Sebut saja Soekarno, Semaoen bahkan Kartosoewiryo yang pemikirannya sampai saat ini masih diminati oleh beberapa pemikir yang lagi-lagi sudah mulai hilang karena faktor zaman.
Saat ini apakah the creative minority itu masih ada? Terlebih kepada para pelajar yang akan menjadi pengganti para pemikir-pemikir Indonesia ke depannya.
Bisakan NU dan Banom-Banomnya menjadi tempat perkumpulan para pemikir? Bukan hanya sebatas tempat berkumpul untuk sekedar ngobrol ngalor ngidul, seperti kata Nusron Wahid dalam sebuah acara Diskusi di Televisi "memang Indonesia tidak mengenal konsep tirani minoritas dan dominasi mayoritas", perlu di ingat the creative minority pun sama dengan yang tadi disinggung di atas, mereka tidak mengenal istilah tersebut.
Jadilah kader yang punya integritas dan kualitas agar dapat melahirkan para pemimpin-pemimpin baru suatu saat nanti.
Terus belajarlah menjadi Pemimpin bukan bos, menjadi leader bukan hanya sekedar director, menjadi pimpinan yang menggema tak hanya bersuara dialektika semata.
Ditulis oleh Azizian
Kader PC Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Bogor
The Creative Minority
Reviewed by Global Network
on
Maret 12, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: